Sebuah review #KepulanganKelima yang lumayan panjang datang dari Halim Bahriz, seorang penggiat komunitas sastra cum penyair dan esais di Jember. Review ini ia tulis di blognya Remang di Persipangan. Selamat membaca.
Membaca, tentu menjadi bagian dari upaya menjalin relasi spesifik dengan teks. Pembacaan, hampir selalu mengancam kita; jatuh cinta (atau sebaliknya), memiliki keinginan bersetubuh (atau membunuh) lalu melahirkan (atau menguburkan) “sesuatu” setelahnya. Untuk melahirkan, sebuah relasi spesifik memiliki kebutuhan mutlak atas persetubuhan. Mungkin,lewat persetubuhan itu, kita akan diperkenalkan pada dua hal: “tubuh-yang-natural”dan “tubuh-yang-kultural”.
Persetubuhan natural tergerak dari hasrat biologis murni tanpa memberi kesempatan bagi konsepsi relasi diperbincangkan lagi, dikonstruksi ulang, sebelum pada akhirnya tersusun kembali sebagai kitab suci yang baru: realitas pola relasi telah saling mengasah dengan pemahaman diri yang maksimal. Dalam persetubuhan natural, birahi ditukar terburu lalu meledak di tubuh masing-masing. Persetubuhan macam begini, tidak mengalami prosedur perkenalan yang kompleks, apalagi menghasilkan produk yang percaya diri.Tentu, banyak hal akan luput bahkan terancam gagal untuk sekedar terpilih menjadi ingatan.
Menuliskan pembacaan atas Kepulangan Kelima untuk bahan perbincangan kita malam ini, memberi kesempatan lebih pada cara persetubuhan yang natural itu. Ritus penelanjangan berlangsung lekas, atau bisa jadi ada lembaran-lembaran pakaian yang belum lepas, ada bagian-bagian tubuh yang belum dijamah sungguh-sungguh, ada konsekuensi kultural yang mesti ditanggung tetapi tak sempat masuk hitungan. Sementara birahi telah lebih dulu meledak. Meski begitu, proses persetubuhan kami beralaskan kerelaan, bukan pemaksaan seperti yang sering kita alami dalam institusi pendidikan formal: Persetubuhan adalah pemerkosaan. Entah, siapa yang diperkosa, teks atau pembaca.
Terkadang, ritus pembacaan teks membutuhkan waktu yang tak sebentar. Semisal, untuk merasakan grafitasi puitik sebaris /Mati kau dikoyak-koyak sepi/ milik Chairil Anwar bisa jadi membutuhkan durasi hingga berbulan-bulan. Akan tetapi, ada pula yang hanya melewati beberapa detik untuk memasuki ruang bergrafitasi puitik dari kata-kata Si Binatang Jalang yang bertahuan-tahun telah dikandangkan dalam kurikulum pendidikan formal sejak sekolah dasar itu. Mungkin, pemahaman atas wacana-wacana sastra yang berpengaruh besar atas terbentuknya batas-batas kemampuan seseorang mengalami grafitasi puitik itu. Meski jelas, hal itu tak sepenuhnya benar.
Pada suatu malam, saat angin kemarau mengeras dalam pori kulit, warung kopi langganan tengah didatangi bos-bos Philip Morris berambut pirang yang blepotan berbicara dalam bahasa Indonesia. Semua bungkus rokok ditukar dengan produk dari Philip Morris. Sebungkus Gudang Garam Surya milik teman yang masih tersisa tiga batang di dalamnya mereka ambil, lalu seorang lelaki berkulit seperti bayi babi menginjaknya sambil berkata: “This is not good!”. Tiba-tiba ada jantung yang berdenyut dengan cara berbeda. Ada kepala yang menyusun kata: “Inikah puisi? Apakah telah terjadi gempa puisi? Atau jangan-jangan, ruangan ini tengah bergrafitasi puitik?”